Sabtu, 24 September 2011

Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer


HAKIKAT MATEMATIKA DAN PSIKOLOGI PEMBELAJARAN
MATEMATIKA

A.    Hakikat Matematika
1.      Seperti kata Abraham S. Lunchins dan Edith N. Lunchins (1973): “In short, the question what is mathematics? May be answered difficulty depending on when the question is answered, where it is answered, who answer it, and what is regarded as being included I mathematics.” Pendeknya : “Apakah matematika itu?” dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada bilamana pertanyaan itu dijawab, di mana dijawab, siapa yang menjawab, dan apa sajakah yang dipandang termasuk dalam matematika.”

Dengan demikian untuk menjawab pertanyaan “Apakah matematika itu?” tidak dapat dengan mudah dijawab dengan satu atau dua kalimat begitu saja, oleh karena itu kita harus berhati-hati. Berbagai pendapat muncul tentang pengertian matematika tersebut, dipandang dri pengetahuan dan pengalaman masing-masing yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa matematika itu bahasa simbol; matematika adalah bahasa numerik; matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional; matematika adalah metode berpikir logis; matematika adalah sarana berpikir; matematika adalah logika pada masa dewasa; matematika adalah ratunya ilmu dan sekaligus menjadi pelayannya; matematika adalah sains mengenai kuantitas dan besaran; matematika adalah suatu sains yang bekerja menarik kesimpulan-kesimpulan yang perlu; matematika adalah sains formal yang murni; matematika adalah sains yang memanipulasi simbol; matematika adalah lmu tentang bilangan dan ruang; matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur; matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif, matematika adalah aktivitas manusia.

Istilah mathematics (Inggris), mathematik (Jerman), mathematique (Perancis), matematico (Itali), matematiceski (Rusia), atau mathematic/wiskunde (Belanda) berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti “relating to learning”. Perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir).

Jadi berdasarkan etimologis (Elea Tinggih, 1972:5). Perkataan matematika berarti “ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar”. Hal ini dimaksudkan bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalu penalaran, akan tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan hasil observasi atau eksperimen di samping penalaran. Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran (Ruseffendi ET, 1980:148) pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia kemudian pengalaman itu diproses dalam dunia rasio, dioah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kogitif, sehingga sampailah pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika. Agar konsep-konsep matematika yang telah terbentuk itu dapat dipahami orang lain dan dapat dengan mudah dimanipulasi secara tepat, maka digunakan notasi dan istilah yang cermat yang disepakati bersama secara global (universal) yang dikenal dengan bahasa matematika. James dan James (1976) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri. Namun pembagian yang jelas sangatlah sukar untuk dibuat, sebabb cabang-cabang itu semakin bercampur. Sebagai contoh, adanya pendapat yang mengatakan bahwa matematika itu timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran yang terbagi menjadi empat wawasan yang luas, yaitu aritmetika, aljabar, geometri, dan analisis dengan aritmetika mencakup teori bilangan dan statistika.

Namun ada pula kelompok lain yang berpandangan bahwa ilmu komputer dan statistika bukan bagian dari matamatika. Kelompok matematikawan ini berpendapat bahwa matematika adalah ilmu yang dikembangkan untuk matematika itu sendiri. Ilmu adalah untuk ilmu, matematika itu adalah ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan sendiri. Ada atau tidak adanya kegunaan matematika, bukan urusannya. Menurut pendapatnya, matematika itu adalah ilmu tentang struktur yang bersifat deduktif atau aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan sebagainya. Bagaimana menurut pendapat anda? Walaupun pendapat ini benar, tetapi dapat menyebabkan pengajaran matematika itu kering, kurang kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, sukar dan semacamnya.

Johnson dan Rising (1972) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logic, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan symbol dan padat, lebih berupa bahasa symbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.

Reys, dkk. (1984) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.

Kemudian Kline (1973) dalam bukunya mengatakan pula, bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan social, ekonomi, dan alam.

Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir, oleh karena itu logika adalah dasar untuk terbentuknya matematika. Logika adalah masa bayi dari matematika, sebaliknya matematika adalah masa dewasa dari logika. Pada permulaannya cabang-cabang matematika yang ditemukan adalah Aritmetika atau Berhitung, Aljabar dan Geometri. Setelah itu ditemukan kalkulus yang berfungsi sebagai tonggak penopang terbentuknya cabang matematika baru yang lebih kompleks, antara lain Statistika, Topologi, Aljabar (Linear, Abstrak, Himpunan), Geometri (Sistem Geometri, Geometri Linear), Analisis Vektor, dan lain-lain.

Masih banyak lagi definisi-definisi tentang matematika, tetapi tidak satupun perumusan yang dapat diterima umum, atau sekurang-kurangnya dapat diterima dari berbagai sudut pandang.
Rambut kepala sama hitam, lain orang lain pendapat. Kita tidak menyalahkan pendapat-pendapat itu karena memang ada benarnya. Gajah seperti tiang listrik ada benarnya tetapi hanya untuk kakinya, gajah seperti tali ada benarnya tapi hanya untuk ekornya, gajah seperti pipa ada benarnya tetapi hanya untuk belalainya, gajah seperti rempeh (nampan atau baki) ada benarnya tapi hanya untuk telinganya yang lebar. Begitu pendapat orang buta mengenai gajah yang mereka pegang. Akan tetapi apakah pengertian gajah hanya sampai di sana? Tentu saja tidak! Agar lebih seksama memahami tentang gajah haruslah kita ketahui secara keseluruhan gajah itu, keseluruhan fisiknya, cara hidupnya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan gajah. Untuk ini kita memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengetahuinya secara benar.
Begitu pula dengan matematika, dikatakan bahasa atau sarana berpikir ada benarnya juga. Hanya apakah pengertian matematika hanya sampai di situ? Tentunya tidak! Matematika jauh dari hanya sekedar bahasa dan sarana berpikir. Yang jelas, matematika mencakup bahasa, bahasa khusus yang disebut bahasa matematika. Dengan matematika kita dapat berlatih berpikir secara logis, dan dengan matematika ilmu pengetahuan lainnya bias berkembang dengan cepat.

Dari definisi-definisi di atas, kita sedikit punya gambaran pengertian tentang matematika itu, dengan menggabungkan pengertian dari definisi-definisi tersebut. Semua definisi itu dapat kita terima, karena memang matematika dapat ditinjau dari segala sudut, dan matematika itu sendiri bias memasuki seluruh segi kehidupan manusia, dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks.
Dengan uraian-uraian di atas,mudah-mudahan cakrawala pengertian kita tentang matematika makin bertambah luas, tidak terlalu sempit dengan hanya memandang dari satu segi saja. Akan tetapi walaupun diberikan dengan panjang lebar secara tertulis atau secara lisan penjelasannya, tidak akan memberikan jawaban secara utuh yang dapat dipahami secara menyeluruh tentang apa matematika itu. Ibarat enaknya masakan, meskipun diceritakan dengan bahasa yang bagaimanapun indahnya, tanpa mencobanya tak akan terasa enak. Tapi meskipun demikian mudah-mudahan sedikit banyak dapat menambah luasnya cakrawala pengetahuan kita. Benar sekali seperti diucapkan oleh Courant dan Robbin bahwa untuk dapat mengetahui apa matematika itu sebenarnya, seseorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika itu, yaitu dengan mempalajari, mengkaji, dan mengerjakan. Termasuk pengkajian sejauh timbulnya matematika dan perkembangannya.

2.2 Matematika sebagai Ilmu Deduktif
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan matematik harus bersifat matematik. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif), tetepi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun demikia untuk membatu pemikiran, pada tahap-tahap permulaan seringkali kita memerlukan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Perlu pula diketahui bahwa baik isi maupun metode mencari kebenaran dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam apalagi dengan ilmu pengetahuan umumnya.

2.2 Matematika sebagai Ilmu Deduktif
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti  proses pengerjaan matematik harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun demikian untuk membantu pemikiran, pada tahap-tahap permulaan seringkali kita memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Perlu pula diketahui bahwa baik isi maupun metode mencari kebenaran dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam apalagi dengan ilmu pengetahuan umumnya. Metode mencari kebenaran yang dipakai oleh matematika adalah ilmu deduktif, sedangkan ilmu pengetahuan alam adalah metode induktif atau eksperimen. Namun dalam matematika mencari kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi selanjutnya generalisasi yang benar untuk semua keadaan harus bisa dibuktikan secara deduktif. Dalam matematika, suatu generalisasi, sifat, teori, atau dalil itu belum dapat diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif.
Sebagai contoh dalam ilmu fisika, bila dengan percobaannya seseorang telah berhasil menunjukkan kepada kita bahwa ketika ia mengambil sebatang logam kemudian dipanaskan dan memuai, kemudian sebatang logam lainnya dipanaskan ternyata memuai lagi, dan seterusnya mengambil beberapa contoh jenis-jenis logam lainnya dan ternyata selalu memuai jika dipanaskan, maka ia dapat membuat kesimpulan atau generalisasi bahwa setiap logam yang dipanaskan itu memuai. Generalisasi yang dibuat secara induktif itu, dalam ilmu fisika dibenarkan.
Contoh lainnya misalnya dalam ilmu biologi yang berdasarkan pada pengamatan dari beberapa binatang menyusui ternyata selalu melahirkan, sehingga kita bisa membuat generalisasi secara induktif bahwa setiap binatang menyusui adalah melahirkan.
Kedua contoh dalam ilmu fisika dan ilmu biologi seperti tersebut di atas, secara matematika belum dapat dianggap sebagai generalisasi. Dalam matematika, contoh-contoh seperti itu baru dapat dianggap sebagai generalisasi bila kebenarannya dapat dibuktikan secara deduktif.
Sekarang kita akan mengambil beberapa contoh generalisasi yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan dalam matematika. Generalisasi yang dibenarkan dalam matematika adaah generalisasi yang telah dapat dibuktikan secara deduktif.
Contoh 1
Jumlah dua bilangan ganjil adalah bilangan genap
+
1
-3
5
7
1
2
-2
6
8
-3
-2
-6
2
4
5
6
2
10
12
7
8
4
12
14
  
Dari tabel penjumahan ini, jelas bahwa setiap dua bilangan ganjil jika dijumlahkan hasilnya selalu genap. Dalam matematika tidak dibenarkan membuat generalisasi atau membuktikan dengan cara demikian. Walaupun anda menunjukkan sfat itu dengan mengambil beberapa contoh yang lebih banyak lagi, tetap kita tidak dibenarkan membuat generalisasi yang mengatakan bahwa jumlah dua bilangan ganjil adalah genap, sebelum kita membuktikannya secara deduktif.
Misalkan pembuktian secara deduktif sebagai berikut: Andaikan m dan n sebarang dua bilangan bulat, maka 2m + 1 dan 2n +1 tentunya masing-masing merupakan bilangan ganjil. Jika kita jumlahkan:
(2m + 1)+(2n + 1) = 2(m + n + 1)
Karena m dan n bilangan bulat, maka (m + n + 1) bilangan bulat, sehingga 2(m + n + 1) adalah bilangan genap. Jadi, jumlah dua bilangan ganjil selalu genap.

Contoh 2
Untuk sebarang himpunan A dan B berlaku  Untuk membuktikan generalisasi ini, anda tidak dibenarkan menunjukkan kebenarannya dengan mengambil beberapa contoh khusus himpunan A dan himpunan B kemudian menunjukkan kebenaran sifat gabungan tersebut, betapapun banyaknya contoh-contoh khusus itu. Misalnya:
A = {a,b,c} dan B = {c,d}, maka
Dari I dan II:
Karena
Cara seprti ini tidak dibenarkan. Seharusnya secara deduktif, misalkan pembuktiannya sebagai berikut: Dua himpunan adalah sama jika himpunan yang pertama adalah himpunan bagian yang kedua dan himpunan yang kedua adalah himpunan bagian yang pertama.
Jadi,
Bila
Dari
Karena untuk sebarang
Sekarang kita misalkan
Dari
Oleh karena untuk setiap
Dari I dan II:
Karena
Dari kedua contoh di atas, janganlah diartikan bahwa kita tidak boleh mengatakan “jumlah dua buah bilangan ganjil adalah genap” atau “ untuk sebarang himpunan A dan B”. Namun, kita tidak boleh sembarangan membuat generalisasi sebelum kita ketahui bahwa sesuatu itu kebenarannya tidak hanya sekedar dari beberapa contoh saja, tetapi kebenarannya harus bisa dibuktikan secara deduktif. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan dua buah contoh berikut ini.
Contoh 3
Perhatian tabel untuk ketidaksamaan 2n < 2n + 2 untuk n anggota bilangan cacah.
N
2n < 2n+2
Nilai Pernyataan
0
1<2
Benar
1
2<4
Benar
2
4<6
Benar

Jika kita membuktikan kebenaran ketidaksamaan itu secara induktif untuk n = 0, n = 1, dan n = 2 kita akan sampai pada generalisasi yang keliru yang mengatakan ketidaksamaan itu benar untuk n bilangan cacah. Dapat Anda periksa untuk n = 3, n = 4, n = 5, …, ternyata ketidaksamaan itu salah.
Dari uraian-uraian di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa matematika itu merupakan ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasaran kepada observasi (induktif) tetapi generalisasi yang didasarkan pada pembuktian secara deduktif.
Mungkin Anda bertanya, bukanlah dalil-dalil/sifat-sifat/rumus-rumus dalam matematika itu ditemukan secara induktif (coba-coba, eksperimen, penelitian dan lain-lain). Memang betul, para matematisi itu menemukan (menyusun) matematika atau bagiannya itu secara induktif, tetapi begitu suatu pola, aturan, dalil, rumus yang merupakan generalisasi itu ditemukan, maka generalisasi itu harus dapat dibuktikan kebenarannya secara umum (deduktif).

2.3 Matematika sebagai Ilmu Terstruktur
            Matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Hal ini dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan (undefined terms, basic terms, primitive terms), kemudian pada unsur yang didefinisikan  ke aksioma/pospulat, dan akhirnya pada teorema (Ruseffendi, 1980:50). Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai syarat untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Ibarat membangun sebuah gedung bertingkat, lantai kedua dan selanjutnya tidak akan terwujud apabila fondasi dan lantai sebelumnya yang menjadi prasyarat benar-benar dikuasai, agar dapat memahami konsep-konsep yang selanjutnya.
Sebagai contoh dapat diihat susunan topik-topik dalam matematika yang harus dipelajari terlebih dahulu (dan berikutnya) untuk sampai pada topik persamaan. Untuk sampai pada topik persamaan tersebut haruslah melalui jalur-jalur pasti yang telah tersusun. Sebaliknya apabila jalur-jalur itu dilanggar, maka konsep persamaan tidak akan tertanam dengan baik.






PERSAMAAN
OPERASI LOGARITMA
OPERASI AKAR
OPERASI PANGKAT
OPERASI BAGI
OPERASI KALI
OPERASI KURANG
OPERASI TAMBAH
BILANGAN
KALIMAT MATEMATIKA
 



















Gambar 1

Catatan : Dari diagram di atas , terlihat bahwa untuk memahami konsep persamaan memerlukan konsep-konsep lain yang menjadi prasyaratnya, akan tetapi tidak perlu tidak semua konsep di bawahnya dipakai.  Cukup dipilih sebuah jalur tertentu, tergantung dari tujuan instruksionalnya.
Untuk lebih memperjelas uraian di atas, marilah kita lihat contoh-contoh berikut ini:
Kita ambil contoh pada satu bagian kecil yang dipelajari dalam matematika, yaitu dalam geometri. Pada geometri terdapat unsur-unsur tertentu  antara lain titik, garis, lengkung, dan bidang.
Apakah titik itu?
            Titik dalam matematika diasumsikan ada, tetapi tidak dinyatakan dalam suatu kalimat yang tepat untuk menjelaskannya. Sebab titik adalah suatu objek matematika yang tidak didefinisikan (unsur primitif). Paling-paling kita hanya mampu untuk sekedar memberikan gambaran bahwa titik itu tidak mempunyai ukuran panjang, luas, isi, dan berat. Suatu titik digambarkan hanya untuk membantu pemikiran kita saja,. Meskipun demikian kita sepakat bahwa titik itu ada. Oleh karena itu menggambarkan suatu titik cukup kecil saja, asal kelihatan.
            Begitu pula tentang lengkungan dan bidang. Lengkungan kita peroleh (gambarnya) bila mulai dari suatu titik tertentu kita membuat suatu jalur (path) dengan alat tulis sampai dengan suatu titik lain atau kembali lagi sampai ke titik asal. Sedangkan bidang (datar) adalah sesuatu yang bentuknya datar seperti permukaan meja yang tidak mempunyai batas pinggir. Meskipun kita tidak mampu untuk memberikan pernyataan dengan tepat, tetapi kita sepakat bahwa lengkungan dan bidang itu ada. Titik, lengkungan, dan bidang itu termasuk ke dalam unsur primitif yang eksistensinya diakui ada. Tanpa pemikiran semacam itu matematika tidak akan terwujud.
Dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi itu selanjutya dapat dibentuk unsur-unsur matemaika yang terdefinisi. Misalnya: ssegitiga adalah lengkungan tertutup sederhana yang merupakan gabungan dari tiga  buah segmen garis (sudah barang tertentu definisini tentang ruas garis, operasi gabungan , dan lengkungan tertutup sederhana sudah terlebih dahuluh diberikan). Bilangan genap adalah bilangan bulat yang habis dibagi dua (pengertian bilangan bulat dan habis dibagi sebelumnya telah dipahami).
Dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi dan unsur-unsur terdefinisi dapat dibuat asumsi-asumsi yang dikenal dengan aksioma atau postulat. Misalnya: melalui sebuah titik sebarang hanya dapat dibuat sebuah garis ke suatu titik yang lain, keseluruhan lebih bersar daripada bagiannya. Pernyataan-pernyataan tersebut di atas tidak perlu dibuktikan kebenarannya, karena tanpa membuktikannya secara formal sudah dapat diterima kebenarannya berdasarkan pemikiran logis.
Tahap selanjutnya, dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi, unsur-unsur yang terdefinisi , dan aksioma atau postulat dapat disusun teorema-teorema yang kebenarannya harus dibuktikan secara deduktif dan berlaku umum. Misalnya: Juumlah ukuran ketiga sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat (ukuran sudut dalam derajat telah didefinisikan terlebih dahuluh). Jumlah dua buah bilangan ganjil menghasilkan bilangan genap. Dari teorema yang telah terbentuk dapat dirumuskan lagi teorema baru sebagai pengembangan atau perluasannya.
Contoh lainnya dapat kita lihat konsep-konsep yang ada dalam struktur aljabar atau aljabar modern atau aljabar abstrak seperti grup, ring, field, integral domain dan teorema-teoremanya yang nampak dengan jelas merupakan system matematika yang mempunyai keteraturan struktur yang terorganisasikan dengan baik.
Ambil contoh lainnya lagi, misalnya geometri modern yang merupakan suau sistem matematika aksiomatik, yang memiliki unsur yang tidak didefinisikan, unsur yang didefinisikan, postula atau aksioma dan dalil atau teori yang dirumuskan dengan jelas. Dinamakan geometri modern karena memiliki istilah, simbol dan gambar yang akurat yang tidak meragukan. Kaena tidak mempunyai dua arti atau lebih. Misalnya pada geometri modern antar ruas garis dan garis mempunyai simbol dan gambar yangberbeda, sedangkan pada geometri tradisional sama. Demikian pula tentang kaki-kaki sebuah segitiga sama kaki pada geometri modern disebut kongruen, sedangkan pada geometri tradisional disebut sama. Kemudian istilah atau bahasa dalam geometri modern jauh lebih tepat dari pada bahasa dalam geometri tradisional. Misalnya dalam geometri tradisional kita sering mengatakan “luas sebuah segitiga =….”. Dalam geometri modern kita harus mengatakan “Luas daerah sebuah segitiga =…”. Alasannya, karena segitiga itu tidak mempunyai luas, yang mempunyai luas adalah daerah segitiga=…”.
Masih banyak contoh-contoh lainnya yang memperlihatkan bahwa matematika jelas merupakan ilmu pengetahuan mengenai struktur yang terorganisasikan dengan baik, dan memang bahwa semua struktur dalam matematika diorganisasikan dengan sistematis dalam rangkaian urutan yang logis.

2.4 Matematika sebagai Ratu dan Pelayan Ilmu
            Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu  dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain. Dengan perkataan lain, banyak ilmu-ilmu yang penemuan da pengembangannya bergantung dari matematika. Sebagai contoh, banyak teori-teori dan cabang-cabang dari fisika dan kimia (modern) yang ditemukan dan dikembangkan melalui konsep kalkulus, khususnya tentang persamaan diferensial; penemuan dan pengembangan Teori Mendel dalam Biologi melalui konsep probabilitas; Teori Ekonomi mengenai permintaan dan penawaran yang dikembangkan melalui konsep Fungsi dan Kalkulus tentang Diferensial dan Integral.
            Dari kedudukan matematika sebagai ratu ilmu pengetahuan, seperti telah diuraikan di atas, tersirat bahwa matematika itu sebagai suatu ilmu berfungsi pula untuk melayan ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, matematika tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri sebagai suatu ilmu, juga untuk melayani kebutuhan ilmu pengetahuan dalam pengembangan dan operasionalnya. Cabang matematika yang memenuhi fungsinya seperti yang disebutkan terakhir itu dinamakan dengan matematika Terapan (Applied Mathematics).

B. Psikologi Pembelajaran Matematika
2.5 Rasional
            Salah satu ciri dari pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang popular dibicarakan oleh para pakar pendidikan. Sesuai dengan ciri tersebut, dalam bagian ini akan dibicarakan tentang perkembangan berbagai teori pembelajaran tersebut dan penerapannya dalam pengajaran matematika.
            Pada bagian lain dari buku ini dibicarakan sebagian dari teori psikologi pembelajaran matematika. Pada bab 3 nanti juga dibicarakan tentang matematika sekolah. Karena pembicaraan mengenai matematika sekolah dan pembelajarannya tidak akan lepas dari teori psikologi yang mendasarina, ibarat gula dengan manisnya yang tidak akan pernah terlepas, lepas manisnya namanya bukan gula lagi dan sebaliknya, maka pada pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, jika terlepas dari psikologi pembelajaran yang mendasarinya, bukan lagi disebut dengan pembelajaran. Karena proses pembelajaran adalah pembentukan diri siswa untuk menuju pada pembangunan manusia seutuhnya, jadi tidak melalui “trial and eror”. Siswa adalah manusia yang sedang mengembangkan diri secara utuh dan tidak boleh dianggap sebagai kelinci percobaan. Dengan kata lain instrumental inputnya dalam pembelajaran harus dijamin keberhasilannya.
            Bahan belajar dalam buku ini dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama dibahas mengenai Aliran Psikologi Tingkah Laku yang menguaraikan materi tentang teori psikologi dari Thorndike, Skinner, Ausubel, Gagne, Pavlov, dan  Baruda. Pada bagian kedua dibahas mengenai aliran psikologi kognitif dengan uraian materi tentang psikologi dari Piaget, Bruner, Brounell, Dienes, dan Van Hiele. Dalam kedua bagian tersebut tidak saja teori yang dibicarakan, namun disertakan pula uraian tentang cara penerapannya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.
            Bagi guru matematika yang mempelajari bagian ini akan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai guru matematika yang professional, karena dengan menguasai materi serta aplikasinya akan meningkat pula wawasan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika di dalam kelas.
            Tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikiann pula. Guru harus mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pengajaran yang harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa  mengalami kesulitan,  karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam  menyerap materi yang diberikan.
            Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran dalam system penyampaian materi di depan kelas, hingga setiap metode pengajaran harus disesuaikan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli pendidikan. Beberapa teori beajar dalam psikologi diaplikaskan dalam pendidikan, dan diungkapkan bagaimana implikasinya dalam pembelajaran matematika.
            Setelah mempelajari bagian ini diharapkan mahasiswa memiliki sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan ini, sebagai tujuan mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami teori psikologi pembelajaran serta mampu menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.

2.6 Aliran Psikologi Tingkah Laku
Sebelum kita mempelajari aliran psikologi tingkah laku, akan lebih baik kiranya jika kita pelajari dulu pengertian psikologi belajar mengajar, yang sifatnya masih umum. Hal ini akan membantu pemahaman terhadap materi selanjutnya yang bersifat lebih khusus.
            Psikologi Belajar atau disebut pula dengan Teori Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa. Di dalamnya terdiri atas dua hal, yaitu :
a.       Uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak, dan
b.      Uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenaia hal-hal yang biasa dipikirkan pada usia tertentu.
Psikologi mengajar atau Teori mengajar berisi tentang petunjuk bagaimana semestinya mengajar siswa pada usia tertentu, bila ia sudah siap belajar. Jadi pada teori mengajar terdapat prosedur dan tujuan mengajar.
Pada palaksanaannya kedua teori tersebut tidak bias dipisahkan, seperti halnya kata belajar dan mengajar. Peristiwa mengajar selalu disertai dengan peristiwa belajar, ada guru yang mengajar maka haruslah ada pula siswa yang belajar. Tetapi jika dibalik, ada siswa yang belajar belum tentu ada guru yang mengajar, sebab belajar bias dilakukan secara sendiri. Oleh karena itu yang kita pakai adalah ungkapan kata belajar mengajar, yang didahulukan peristiwa belajar, agar siswa bisa mandiri sesuai dengan semboyan pendidikan yaitu “Tut Wuri Handayani”. Jadi dalam peristiwa belajar mengajar, siswa merupakan subjek dan bukan objek. Selanjutnya peristiwa belajar mengajar ini, sesuai dengan istilah dalam kurikulum akan disebut pembelajaran, yang berkonotasi pada proses kinerja yang sinergi antara setiap komponennya.
      Dengan menguasai psikologi pembelajaran, guru bisa mengetahui kemampuan yang telah dimiliki siswa dan bagaimana proses berpikirnya. Disamping itu ia mengetahui pula tentang bagaimana menciptakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan kondisi siswa dan tujuan pembelajaran.

2.6.1 Teori Thorndike
Edward L. Thorndike (1874-1949) mengemukakan beberapa hokum belajar yang dikenal dengan sebutan Law Of Effect. Menurut hokum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengatarkan dirinya kejenjang kesuksesan berikutnya.
      Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakekatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hokum kesiapan (Law Of Readiness), hukum latihan (Law Of Exercise) dan hukum akibat (Law Of Effect).
      Hukum kesiapan menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan tersebut. Maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
      Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan itu.
      Seorang anak yang tidak mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu, sedangkan orang tersebut ternyata melakukan tindakan, maka apa yang diakukannya itu akan menimbulkan rasa tidak puas bagi dirinya. Dia akan melakukan tindakan lain untuk menghilangkan ketidakpuasan tersebut.
      Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan Kegiatan Belajar.
      Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi.
      Hukum latihan pada dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan respon akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
      Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangan yang tidak membosankan, dan kegiatan disajikan dengan cara yang menarik.
      Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada anak, guru menjelaskan pengertian pemetaan yang diikuti dengan contoh-contoh relasi. Guru menguji apakah anak sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan apakah semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak. Jika tidak, anak diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab criteria pemetaan tidak terpenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak berarti pengulangan dilakukan dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga anak tidak merasa bosan.
      Dalam hukum akibat dijelaskan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru yang memberi senyuman wajar terhadap jawaban anak, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak. Kata-kata “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat Teliti”, dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi anak yang kelak akan meningkatnkan dirinya dalam menguasai pelajaran.
       Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon anak yang salah. Jika kekeliruan anak dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kemungkinan anak akan menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Anak yang menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya, ada kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar. Anggapan ini akan mengakibatkan jawaban yang tetap salah disaat anak mengikuti tes.
      Demikian pula anak yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat melakukan tes. Tidaklah mengherankan, kiranya, jika ada anak yang diberi tes berulang, namun hasilnya masih tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan anak. Oleh karena itu perlu dihilangkan.
      Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam ingatan anak. Selain itu banyaknya pengulangan akan sangat menentukan lamanya konsep diingat anak. Makin sering pengulangan dilakukan akan makin kuat konsep tertanam dalam ingatan anak.
      Disamping itu, Thorndike mengemukakan pula bahwa kualitas dan kuantitas hasil belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (S-R) dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas S-R itu (yang diberikan guru) makin banyak dan makin baik pula hasil belajar siswa.
Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:
a.       Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.
b.      Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cepat untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.
c.       Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topic berikutnya.

2.6.2 Teori Skinner
Dalam bagian ini akan diuraikan teori belajar menurut Skinner. Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar.
            Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.
            Dalam teori Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang diberikan pada anak memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering melakukannya.
Yang termasuk contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan pada anak. Sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan, merupakan penguatan positif pula.
Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) da mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam kelas mempunyai tugas untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut, kontro berada pada guru, yang berwenang memberikan intruksi ataupun larangan pada anak didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu ditunda-tunda.
Karena penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan diharapkan positif, maka  penguatan yang diberikan tentu harus diarahkan pada respon anak yang benar. Janganlah memberikan penguatan atas respon anak jika respon tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
Skinner menambaahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Misalnya dengan mengatakan “Bagus, Pertahankan Prestasimu” untuk siswa yang mendapat nilai tes yang memuaskan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negative agar respon tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif.  Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).

2.6.3 Teori Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ia membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran bagitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan  keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
            Sewaktu metode menemukan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya adalah metode yang merupakan belajar menerima, Ausubel menentang pendapat itu. Ia berpendapat bahwa dengan metode penemuan maupun dengan metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.
            Selanjutnya Ausubel  mengemukakan bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang paling baik dan bermakna. Hal ini ia kemukakan berdasarkan hasil penelitian. Belajar menerima maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar menghafal atau bermakna. Misalnya dalam mempelajari konsep Pythagoras tentang segitiga siku-siku, mungkin bentuk akhir.
c2 = b2 + a2
                Sudah disajikan (belajar menerima), tetapi jika siswa dalam memahami rumus itu selalu dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan merupakan belajar bermakna. Siswa lain memahami rumus itu dengan cara melalui pencarian tetapi bila kemudian ia menghafalkannya tanpa dikaitkan dengan sisi sebuah segitiga siku-siku menjadi menghafal.

2.6.4 Teori Gagne
            Menurut Gagne, dalam belajar mtematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan.
            Fakta adalah ojek matematika yang tinggal menerimanaya, seperti lambang bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lain. Keterampilan berupa kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan pembagian bilangan yang cukup besar dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan, melukis sumbu sebuah ruas garis. Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalkan, konsep bujursangkar, bilangan prima, himpunan dan vektor. Aturan ialah objek yang paling abstrak yang berupa sifat atau teorema.
            Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan dan pemecahan masalah. Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut taraf kesukarannya dari belajar belajar isyarat sampai ke belajar  pemecahan masalah.
            Belajar isyarat adalah belajar yang tingkatnya paling rendah, karena tidak ada niat atau spontanitas. Contohnya menyenangi atau menghindari pelajaran karena akibat perilaku gurunya. Stimulus-respon merupakan kondisi belajar yang ada niat diniati dan responnya jasmaniah. Misalnya siswa meniru tulisan guru di papan tulis. Rangkaian gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respon. Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respon. Contohnya adalah mengemukakan pendapat, menjawab pertanyaan guru secara lisan. Belajar membedakan adalah belajar memisah-misah rangkaian yang bervariasi. Pembentukan konsep disebut juga tipe belajar pengelompokkan, yaitu belajar melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa untuk dijadikan suatu kelompok. Dalam hal tertentu diperlukan tipe belajar yang mengharapkan siswa untuk mampu memberikan respon terhadap stimulus dengan segala macam perbuatan. Kemampuan disini terutama adalah kemampuan menggunakannya. Misalnya pemahaman terhadap rumus kuadratis dan menggunakannya dalam menyelesaikan persamaan kuadrat. Belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar yang peling tinggi karena lebih kompleks dari pembentukan aturan.
            Dalam pemecahan masalah, biasanya  ada lima langkah yang harus dilakukan, yaitu:
a.       Menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas;
b.      Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional;
c.       Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik;
d.      Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya;
e.       Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.
Lebih jauh Gagne mengemukakan bahwa hasil belajar harus didasarkan pada pengamatan tingkah laku, melalui stimulus-respon dan belajar bersyarat. Alasannya adalah bahwa manusia itu organisme pasif yang bisa dikontrol melalui imbalan dan hukuman.

2.6.5 Teori Pavlov
            Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap seekor anjing. Anjing itu dikurung, dalam suatu kandang dalam waktu tertentu dan diberi makan. Selanjutnya setiap akan diberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air liurnya, meskipun tidak diberi makanan.
            Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau member nilai terhadap hasil pekerjaannya.

2.6.6 Teori Baruda
            Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian meniru disini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang professional.

2.6.7 Aliran Latihan Mental
            Aliran ini berkembang sampai pada awal abad 20, yang mengemukakan bahwa struktur otak manusia terdiri dari gumpalan-gumpalan otot. Agar ia kuat maka harus dilatih dengan beban, makin banyak latihan dan beban yang makin berat maka otot (otak) itu makin kuat pula. Oleh karena itu jika anak (siswa) ingin pandai maka ia harus dilatih otaknya dengan cara banyak berlatih memahami dan mengerjakan soal-soal yang benar, makin sukar materi itu makin pandai pula anak tersebut.
            Struktur kurikulum pada masa itu berisikan materi-materi pelajaran yang sulit-sulit, sehingga orang sedikit yang bersekolah karena tidak kuat untuk mengikutinya. Di samping faktor lain,seperti keturunan, biaya, dan kesadaran akan pentingnya sekolah yang belum dimiliki.
2.7 Aliran Psikologi Kognitif
2.7.1 Teori Piaget
            Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu  Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap daripada ketika ia masih kecil. Karena masih terbatasnya skema pada anak-anak, seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak  yang sering dilihat di rumahnya. Ia baru memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa seperti ini sering berlanjut pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya, seringkali orang menyebut kuda laut atau singa laut, padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya yang hamper sama.
            Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya.  Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola panalaran anak tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus  baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, karena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses akomodasi skema yang ada memodifikasi diri atau menciptakan skema baru sehingga sesuai dengan stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan demikian pada proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata secara kuantitas. Sedangkan pada akomodasi menghasilkan perubahan skemata secara kualitas. Pada contoh di atas, seorang anak menyebut cicak, besar untuk buaya pada dasarnya anak tersebut mengasimilasi stimulus buaya ke dalam skema cecak.
            Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangangan dimaksudkan agar dapat mendeksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya.
            Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami oleh setiap individu secara lebih rinci, dari mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Kesimpulannya adalah bahwa poa berpikir anak tidak sama dengan pola berpikir orang dewasa. Tahap perkembangan kognitif arau taraf kemampuan berpikir seorang individu sesuai dengan usianya. Makin seorang individu dewasa makin meningkat pula kemampuan berpikirnya. Jadi, dalam memandang anak keliru kalau beranggapan bahwa kemampuan anak sama dengan kemampuan orang dewasa, sebab anak bukanlah miniature orang dewasa.
            Selain daripada itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh lingkungan dan transmisi sosialnya. Jadi, efektivitas hubungan antara setiap individu dengan lingkungan dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, maka tahap perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh karena itu agar perkembangan kognitif seorang anak berjalan maksimal, sebaiknya diperkaya dengan banyak pengalaman edukatif.
            Berdasarkan hasil penelitiannya, piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis (menurut usia kelender) yaitu:
a.       Tahap Sensori Motor, dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun,
b.      Tahap Pra Operasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar umur 7 tahun,
c.       Tahap operasi Konkrit, dari sekitat umur 7 tahun sampai dengan sekitar umur 11 tahun,
d.      Tahap Operasi Formal, dari sekitar umur 11 tahun dan seterusnya.
Sebaran umur pada setiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya,antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.
a.      Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melaui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.
b.      Tahap Pra Operasi (Pre Operasional Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying),menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (serration)dan membilang (counting), (Mairer,1978: 24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit dari pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula.
Contoh:
a)     
diubah menjadi
Perlihakan 5 (lima) buah kelereng yang sama besar di atas meja. Kemudian ubalah letak kelereng itu menjadi agak berjauhan. Apabila ditanyakan kepada anak yang masih pada tahap ini. Ia akan menjawab kelereng yang letaknya berjauhan lebih banyak.




Gambar 1

b)      Perlihatkan segumpal plastisin (lilin lunak/malam) berbentuk bola. Kemudian ubahlah (sambil diperlihatkan) menjadi bentuk pipih sehingga tampak lebih besar. Apabila ditanyakan mana yang lebih banyak plastisin itu. Ia akan menjawab plastisin yang bentuknya pipih.


diubah menjadi
 



Gambar 2


c)      Perlihatkan kepada anak dua bejana dari gelas yang bentuk dan ukurannya sama dengan dua bejana lainnya berbeda ukurannya. Kemudian kedua bejana gelas yang sama tadi kita isi dengan cairan berwarna sama banyak. Sambil diperlihatkan kepada siswa cairan pada kedua gelas yang sama tadi masing-masing dipindahkan pada kedua gelas yang berbeda. Setelah semuanya dipindahkan lalu tanyakan apakah kedua cairan tersebut sama banyak. Anak pasa tahap perkembangan pra operasi akan menjawab banyak kedua cairan itu berbeda.


dipindahkan menjadi
A
C
 





dipindahkan menjadi
B
D
 



Gambar 3


d)    
diubah menjadi
diubah menjadi
a
b
c
Dua utas tali yang sama panjang diletakkan di atas meja, kemudian rentangnya diubah. Hasilnya, anak-anak akan mengatakan bahwa kedua tali tersebut menjadi berbeda panjangnya.

d
 


               Gambar 4
Panjang tali a sama dengan panjang tali b, tetapi panjang tali c tidak sama panjang dengan tali d.

e)      Apabila anak dihadapkan pada suatu daerah bidang datar (terbuat dari kertas berwarna-warni) yang menyatakan luas, kemudian kemudian kertas itu di potong-potong dan dikumpulkan kembali dengan susunan yang berbeda seperti tampak pada gambar sampingnya. Anak tersebut mengatakan bahwa luas gambar sebelah kanan lebih besar dari aslinya.

diubah menjadi
 




Gambar 5

 Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa anak masih berada pada tahap pra operasi belum memahami konsep kekekalan (conservation),yaitu kekekalan banyak, kekekalan materi, kekekalan volum, kekekalan panjang, dan kekekalan luas. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami operasi yang sifatnya reversible,belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan, belum memahami operasi transformasi (Piaget, 1972:39).
c.       Tahap Operasi Konkrir (Concrete Operational Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, sehingga suda semestinya guru-guru SD maupun guru-guru Sekolah Pendidikan.
Guru mengetahui benar kondisi anak pada tahap ini. Guru-guru harus mengetahui apa yang telah dimiliki anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang belum dimilikinya.
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berpikir reversibel.
Piaget mengidentifikasi ada enam jenis konsep kekekalan yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit, yaitu:
a)      Kekekalan banyak (6-7 tahun)
b)      Kekekalan materi   (7-8 tahun)
c)      Kekekalan panjang (7-8 tahun)
d)     Kekekalan  luas       (8-9 tahun)
e)      Kekekalan berat       (9-10 tahun)
f)       Kekekalan volum     (11-12 tahun)
         (Anderson,1970: 126-127)
Kemampuan mengurutkan objek (serasi) yang dipahami oleh anak pada tahap ini berkembang sesuai dengan pemahaman konsep kekekalan. Kemampuan mengurutkan objek berdasarkan panjang dipahami pada usia  sekitar 7 tahun, mengurutkan objek yang  besarnya sama tetapi beratnya berlainan dicapai pada umur sekitar 9 tahun, dan mengurutkan benda pada volumnya dicapainya pada sekitar 12 tahun.
Sejalan dengan kedua hal tersebut di atas, anak pada tahap ini memahami pula konsep ekuivalensi dan klasifikasi. Piaget membuktikannya dengan eksperimen sebagai berikut:
Seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya berwarna merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola berwarna merah?
Anak pada tahap Pra Operasional akan menjawab bahwa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada tahap Operasi Konkrit menjawab bahwa bola kayu lebih banyak dari pada bola berwarna merah.
Eksperimen tersebut menunjukkan kepada kita bahwa anak pada tahap operasi konkrit telah mampu memperhatikan sekaligus dua macam kelompok yang berbeda. Ia telah dapat mengelompkkan benda-benda yang memiliki beberapa karakteristik ke dalam himpunan dan himpunan bagian dengan karakteristik khusus, dan dapat melihat beberapa karakteristik suatu benda secara serentak.
Anak pada tahap ini baru mampu mengikat definisi yang telah ada dan mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu untuk merumuskan sendiri definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai simbol verbal dan ide-ide abstrak.
d.   Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Penggunaan benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi. Ia telah kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Sebagai contoh, kita perhatikan eksperimen Piaget berikut ini:
Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “Pak Pendek” dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian tambahkam\n penjelasan dalam bentuk verbal bahwa “Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek” embat batang, sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api. Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah di atas, anak harus melakukan operasi terhadap operasi. (Karplus dan Peterson, 1970)
Karakteristik lain anak pada tahap ini ialah telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalarah hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (Child, 1977: 127)
Suatu eksperimen beliau lakukan terhadap anaknya sendiri bernama Paul (9,5 tahun). Child memberikan bandul yang terbuat dari plastisin sehingga berat bandul dapat diubah-ubah panjang-pendeknya. Setelah melalui percobaan berulang-kali, Paul diminta untuk menemukan faktor-faktor apa sajahkah yang mempengaruhi waktunya ayunan bandul tersebut? Anaknya mengemukakan bahwa faktor-faktor itu adalah berat bandul, panjang tali, dan cara melepas bandul. Kemudian Child mengemukakan bahwa dari ketiga hal tersebut hanya satu hal yang mempengaruhi waktu ayunan. Setelah Paul melakukan kembali percobaan tadi berulang-kali, ia tidak bisa menemukannya. Dengan demikian dari ketiga hipotesis yang ditemukan itu, ia belum mampu untuk mengjinya.
Selain itu, karakteristik lain dari anak pada tahap ini telah memiliki kemampuan berpikir kombinatorial (combinatorial thought), yaitu kemampuan menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem (Wardsworth, 1971:103-104). Misalnya kombinasi warna, kombinasi beberapa bilangan, kombinasi beberapa huruf.
Jadi, anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan dengan ada-tidaknya benda-benda konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe berpikir. Apakah situasinya disertai oleh benda-benda konkret atau tidak, bagi anak pada tahap berpikir formal tidak menjadi masalah.

2.7.2 Teori Bruner
Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan pada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.
Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau stuktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk menipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperlihatkannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intiutif yang telah melekat pada dirinya.
Nampaklah, bahwa Bruner sangat menyarankan keaktifan anak dalam proses belajar sacara penuh. Lebih disukai lagi bila proses ini berlangsung di tempat yang khusus, yang dilengkapi dengan objek-objek untuk dimanipulasi anak, misalnya laboratoriunm.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap, yaitu:
a.       Tahap enaktif
Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek.
b.      Tahap ikonik
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang lakukan siswa dalam tahap edektif.
c.       Tahap simbolik
Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Bruner mengadakan pengamatan ke sekolah-sekolah. Dari hasil pengamatannya ini diperoleh beberapa kesimpulan yang melahirkan dalil-dalil. Diantara dalil-dalil tersebut adalah dalil-dalil penyusunan (contruction theorem),dalil notasi (nitation theorem),dalil kekontrasan dan dail keanekaragaman (contras and variation theorem), dan dalil pengaitan (connectivity theorem).
Selanjutnya marilah kita diskusikan masing-masing dalil tersebut secara terperinci.
a.        Dalil penyusunan (kontruksi)
Dalil ini menyatakan bahwa jika anak mempunyai kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, definisi, dan semacamnya, anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya.untuk melekatkan ide tau definisi tertentu dalam pikiran, anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya sendiri. Dengan demikian, jika anak aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut, maka anak akan lebih memahaminya.
Apabila dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide tersebut anak disertai dengan bantuan benda-benda konkret, maka mereka akan lebih mudah mengingat ide-ide yang dipelajari itu. Siswa akan lebih mudah menerapkan ide dalam situasai riil secara tepat. Dalam tahap ini anak memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda konkret yang dimanipolasinya. Memori seperti ini bukan sebagai akibat penguatan. Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar anak kepada pengertian konsep.
Anak yang mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang, akan lebih memahami konsep tersebut. Jika anak tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagai contoh untuk memperlihatkan perkalian, kita ambil 3x5, ini berarti pada garis  bilangan meloncat 3x dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut kita periksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangi hasil percobaan seperti ini, anak akan benar-benar memahami dengan pengertian yang dalam, bahwa perkalian pada dasarnya merupakan penjumlahan berulang.


b.      Dalil Notasi
 Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental anak. Ini berart untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah  dimengerti.
Sebagai contoh notasi untuk menyatakan fungsi
          f(x) = 3x-2
       kita menggunakan notasi
       = (3 x ∆) – 2
Bagi anak yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut, diberikan notasi fungsi
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang palinh sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide-ide matematika disajikan secara sistematis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih kompleks. Notasi yang terakhir, yang mungkin belum dikenal sebelumnya oleh anak, umumnya merupakan notasi yang akan banyak digunakan dan diperlukan dalam pembangunan konsep matematika lanjutan.
c.       Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam dalil ini dinyatakan bahwa pengkontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan perubahan konsep dipahami dengan mendalam, diperlukan contoh-contoh yang banyak, sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Anak perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan  atau teorema yang diberikan. Selain itu mereka perlu juga diberi contoh-contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau teorema, sehingga diharapkan anak tidak mengalami salah pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari.
Konsep yang diterangkan dengan contoh dan bukan contoh adalah salah satu cara pengontrasan. Melalui cara ini anak akan mudah memahami arti karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan pengertian persegipanjang, anak harus diberi contoh bujursangkar, belahketupat, jajar genjang dan segiempat lainnya selain persegipanjang. Dengan demikian anak dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegipanjang atau tidak.
Keanekaragaman juga membantu anak dalam memahami konsep yang disajikan, karena dapat memberikan belajar bermakna bagi anak. Misalnya, untuk memperjelas pengertian bilangan prima anak perlu diberi contoh yang banyak, yang sifatnya beranekaragam.
Perluh diberikan contoh-contoh bilangan ganjil yang termasuk bilangan prima dengan yang tidak. Pada anak harus diperlihatkan bahwa tidak semua bilangan ganjil termasuk bilangan prima, sebab bilangan trsebut habis dibagi oleh bilangan lain selain oleh bilangan itu sendiri dan oleh satu.
Untuk menjelaskan segitiga siku-siku, perlu diberi contoh yang gambar-gambarnya tidak selalu tegak dengan sisi miringnya dalam kedudukan miring,tapi perlu juga diberikan gambar dengan sisi miring dalam keadaan mendatar atau membujur. Dengan cara ini anak terlatih dalam memeriksa, apakah segitiga yang diberikan kepadanya tergolong segitiga siku-siku atau tidak. Perhatikan gambira 6.


 






Gambar 6

d.      Dalil Pengaitan (konektivitas)
 Dalil ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep dalil Pyhtagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pyhtagoras atau pembuktian rumus kuadrat dalam trigonometri.
Guru perlu menjelaskan agaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal lainnya. Melalui cara ini anak akan mengetahui pentingnya konsep yang sedang dipelajari dan memahami bagaimana kedudukan rumus atau ide yang sedang dipelajarinya itu dalam matematika. Anak perlu enyadari bagaimana hubungan tersebut, karena antara sebuah bahasan dengan bahasan matematika lainnya saling berkaitan.

2.7.3 Teorema  Gestalt
     Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
a.       Penyajian konsp harus lebih mengutamakan pengertian,
b.      Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa, dan
c.       Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.
Dari ketiga hal di atas,dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberikan konsep yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses melalui metode induktif.
Pendekatan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan intelektual siswa. Siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret, artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan menggunakan benda konkret. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka ragam, kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.
Kita ketahui bahwa faktor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus pandai-pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.

2.7.4 Teori Brownell
W . Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukan Brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul dipertengahan tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal dengan sebutan driil adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD duluh lebih menitik eratkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah oak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin ndisiplin formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasilyang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berpikir, memperoleh presepsi dan lain-lain.

2.7.5 Teori Dienes
Berikut ini kita pelajari teori belajar mengajar matematika yang dikemukakan oleh Zoltan P. Dienes.
Zoltan P. dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientaskan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sisten yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang sruktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dupahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan baik dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dantidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu.
Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
Penggunaan alat peraga matematika anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam Kegiatan Belajar dengan menggnakan alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu.
Dalam permainan yang disertai aturan anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteratuaran yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu.
Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalan onsep-konsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan symbol matematika atau melalui perumusan verbal.
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema tersebut.

2.7.6 Teorema Van Hiele
          Semua teori belajar yang telah diraikan dimuka adalah teori belajar yang dijadikan landasan proses belajar mengajar matematika. Pada bagian ini bagian ini akan disinggung bagaimana teori belajar yang  dikemukakan oleh ahli pendidikan, khusus dalam bidang geometri.
          Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seoran guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Hasil penelitiannya itu yang dirumuskan dalan disertasinya, diproleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
          Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
          Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu: tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut.
a.      Tahap pengenalan (visualisasi)
            Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan namun belum mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang merupakan bujursangkar, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya ada 12 dan lain-lain.
b.      Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya di saat ia mengamati persegipanjang, ia telah mengetahui bahwa terhadap 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.

c.       Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif.  Namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajar genjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk bujur sangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d.      Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau pospulat yang digunakan dalam pembuktian.
      Pospulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti pospulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa pospulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai pospulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen).
e.       Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau pospulat-pospulat dalam geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
         

          

 
   
      

2 komentar:

  1. contoh dan gambar tidak nampak atau tidak terbaca, bagaimana supaya dapat terbaca (terlihat), mohon pengertiannya. tks.

    BalasHapus
  2. mohon kirim berita ke alamat Email :nekson61@yahoo.com

    BalasHapus